KTI tentang Upaya Peningkatan Pembangunan Melalui Pemanfaatan Ilmu Geografi




Upaya Peningkatan Pembangunan Melalui Pemanfaatan Ilmu Geografi
Description: logo Smansa copy.jpg


Dibuat Oleh:
1.  Danang Wisnu Nugroho  (11396)
2.  Asthina Novita Syanur  (11280)

SMA NEGERI 1 METRO
LAMPUNG

 
Jl. Jend. A.H Nasution No. 222 Yosodadi  Metro Timur Kota Metro
Tahun 2011




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah yang terbentang di sekitarnya. Ini menyebabkan keanekaragaman suku, adat istiadat dan kebudayaan dari setiap suku di setiap daerah. Hal ini sungguh sangat menakjubakan karena walaupun Indonesia memiliki banyak wilayah, yang berbeda suku bangsanya, tetapi kita semua dapat hidup rukun satu sama lainnya.
Namun, konflik-konflik antar suku tak terelakkan lagi dalam kehidupan masyarakat kita. Kebanyakan konflik tersebut hanya disebabkan oleh kesalahpahaman ataupun masalah kecil lainnya.
                 Masalah pluralisme suku, telah dihadapi Indonesia sejak lama, tetapi masih saja terjadi konflik bahkan peperangan antar suku. Seperti di Papua, sering sekali terjadi kesalah pahaman yang menimbulkan peperangan antar suku, dan tak jarang memakan korban jiwa. Contoh lainnya adalah peristiwa yang terjadi di Kalimantan. Yaitu peperangan antara suku Dayak dan suku Madura yang sebenarnya hanya disebabkan oleh perbedaan pendapat saja.
                 Untuk mengatasi hal tersebut perlu suatu solusi yang tepat, salah satunya dari segi wilayah dan komoditi yang menjadi mayoritas di daerah tersebut. Karet merupakan komoditi utama Provinsi Lampung. Namun sungguh sangat disayangkan apabila komoditi karet hanya dimanfaatkan dari segi materil saja, tidak digunakan untuk mengatasi permasalahan akibat dampak  negatif pluralisme yang ada di Indonesia.







1.2. Identifikasi Masalah
Masalah pluralisme suku di Indonesia, telah menimbulkan berbagai macam pertanyaan dalam hubungannya dengan sebab, keberadaan dan dampak yang diakibatkan dari pluralisme tersebut. Pertanyaan-pertanyaan seputar masalah pluralisme suku di Tulang Bawang Barat ini dapat diuraikan seperti dalam beberapa point berikut:
1.Apakah pluralisme di Tulang Bawang Barat menimbulkan dampak negatif?
2.Apakah pluralisme di Tulang Bawang Barat menimbulkan konflik?
3.Apakah ilmu geografi dapat mengatasi hal tersebut?

1.3. Pembatasan Masalah
                 Karena permasalahannya yang sangat luas dan meliputi berbagai aspek kehidupan, maka kami hanya membatasi penelitian kami dari segi geografi dalam mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh pluralisme di Tulang Bawang Barat.

1.4. Perumusan Masalah
                 Atas dasar penentuan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka kami dapat mengambil perumusan masalah sebagai berikut:
”Bagaimana pengaruh perkebunan karet di Tulang Bawang Barat dalam mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan pluralisme suku?”

1.5. Kegunaan Penelitian
1.  Kegunaan bagi penulis yaitu dapat menambah dan memperluas wawasan melalui penelitian ini.
2.  Kegunaan bagi sekolah yaitu dapat dijadikan bahan bacaan bagi siswa dan siswi guna menambah pengetahuan.
3.  Kegunaan bagi umum/masyarakat luas yaitu sebagai informasi bagi masyarakat umum dalam mengatasi dampak negatif dari pluralisme di Indonesia.
1.6. Tujuan Penulisan
                 Penelitian ini dilakukan untuk dapat memenuhi tujuan-tujuan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat umumnya dan para remaja khususnya dalam mengatasi masalah pluralisme. Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.      Mengetahui sampai sejauh mana pengaruh perkebunan karet di Tulang Bawang Barat terhadap kehidupan bermasyarakat.
2.      Mengetahui apakah perkebunan karet dapat mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh pluralisme suku di Tulang Bawang Barat.

1.7. Metode Penulisan
                 Untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan, penulis menggunakan metode observasi atau pengamatan langsung, wawancara, dan teknik studi kepustakaan. Tidak hanya itu, kami juga mencari bahan dan sumber-sumber dari media masa elektronik maupun cetak yang mendukung penelitian ini.














BAB II
KERANGKA TEORITIS

2.1 Definisi Pluralisme

2.1.1 Definisi Etimologis
   Menurut asal katanya, pluralisme berasal dari bahasa Inggris, pluralism. Yang artinya suatu kerangka interaksi yang mana setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/-pembiasan). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pluralisme berarti keadaan masyarakat yg majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya).

2.1.2 Definisi Konseptual
   Bagi masyarakat Indonesia kata “pluralisme” sudah sangat akrab didengar, namun masyarakat belum banyak yang mengetahui apa itu pluralisme yang sebenarnya. Berikut ini adalah definisi pluralisme menurut para ahli.
   Salah satu tokoh  Indonesia, Nurcholish Madjid (2001) menerjemahkan pluralisme sebagai suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Selain Nurcholis majid tokoh lainnya adalah Adian Husaini (2008) dengan pendapatnya yaitu pluralisme adalah sebagai sebuah paham (isme) tentang pluralitas.
   Selain tokoh tokoh nasional ada jga tokoh luar negeri yang memiliki pendapat tentang pluralisme. Salah satunya adalah Diana L. Eck, Professor dari Harvard University(1994) yang memiliki pendapat yang antara lain sebagai berikut:
  
Pertama, pluralisme tidak berisi keragaman semata, tetapi keterlibatan energik dengan keanekaragaman. Keanekaragaman dapat dan telah berarti menciptakan kelompok-kelompok kecil agama dengan hilir mudik [interaksi]  yang sedikit antara atau di antara mereka. Hari ini, keragaman agama adalah pemberian (anugerah), tetapi pluralisme bukan pemberian, melainkan sebuah pencapaian/prestasi. Keanekaragaman tanpa hubungan dan perjumpaan yang nyata akan menghasilkan peningkatan ketegangan dalam kehidupan masyarakat kita.
   Kedua, pluralisme bukan sekadar toleransi, tetapi pencarian aktif tentang pemahaman lintas perbedaan. Toleransi adalah kebajikan publik yang diperlukan, tetapi tidak mewajibkan orang Kristen dan Muslim, Hindu, Yahudi, dan sekuler untuk mengetahui apa-apa tentang satu sama lain. Toleransi adalah landasan yang terlalu tipis untuk dunia yang berbeda agama dan yang memiliki kedekatan. Toleransi tidak melakukan apa pun untuk menghilangkan ketidaktahuan kita satu sama lain, dan menyisakan stereotip, kebenaran yang setengah-setengah, dan ketakutan yang mendasari pola lama perpecahan serta kekerasan. Dalam dunia di mana kita hidup sekarang ini, ketidaktahuan kita satu sama lain akan semakin mahal resikonya.
   Ketiga, pluralisme bukan relativisme, tetapi perjumpaan komitmen. Paradigma baru pluralisme tidak mengharuskan kita untuk meninggalkan identitas dan komitmen kita di belakang, sebab pluralisme adalah perjumpaan komitmen. Ini berarti memegang perbedaan kita yang terdalam, bahkan perbedaan agama kita, bukan dalam ketertutupan, melainkan dalam keterhubungan satu sama lain.
   Keempat, pluralisme didasarkan pada dialog. Bahasa pluralisme adalah dialog dan pertemuan, memberi dan menerima, kritik dan kritik diri. Dialog berarti saling berbicara dan mendengarkan, dan proses yang mengungkap baik pemahaman umum maupun perbedaan nyata. Dialog tidak berarti semua orang duduk di sekitar “meja” akan setuju satu sama lain. Pluralisme melibatkan komitmen untuk berada di meja – dengan komitmen seseorang.
   Selain difinisi dari pluralisme, beberapa tokoh juga memiliki pendapat bahwa ada kaitan antara pluralisme dengan modernisasi. Pendapat tersebut antara lain dari Schoorl (1980) yang berpendapat bahwa modernisasi adalah penerapan pengetahuan ilmiah yang ada pada semua aktivitas, bidang kehidupan atau semua aspek masyarakat. Pendapat ini dapat diartikan, jika suatu masyarakat atau bangsa ingin membangun maka harus menghilangkan semua unsur yang tidak rasional. Dengan kata lain segala sesuatu yang sifatnya tradisional harus dihindarkan, karena dapat  menghambat langkah modernisasi pada tahap-tahap selanjutnya. Konsep Schoorl hampir sama dengan pendapat Wilbert Moorre (Long, 1987). Menurutnya konsep modernisasi adalah suatu perubahan secara menyeluruh pada masyarakat tradisional atau masyarakat pra-modern menjadi masyarakat yang bercorak teknologi dan organisasi sosialnya seperti yang terdapat di negara-negara dunia Barat yang maju, makmur secara ekonomik dan relatif stabil secara politik.

2.2 Definisi Geografi


2.2.1 Definisi Etimologis
   Geografi berasal dari dua kata, yaitu geo yang berarti bumi dan graphein yang berarti citraan atau gambaran. Geografi berarti gambaran atau pencitraan tentang bumi, atau biasa disebut ilmu bumi.

2.2.2        Definisi Konseptual
   Beberapa ahli berpendapat bahwa geogfafi bukan hanya sekedar mempelajari tentang bumi namun lebih luas lagi. Prof. Bintarto berpendapat bahwa Geografi mempelajari hubungan kausal gejala-gejala di muka bumi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka bumi baik yang fisikal maupun yang menyangkut mahkluk hidup beserta permasalahannya, melalui pendekatan keruangan, ekologikal dan regional untuk kepentingan program, proses dan keberhasilan pembangunan.
   Sedangkan Ekblaw dan Mulkerne mengemukakan, bahwa geografi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari bumi dan kehidupannnya, mempengaruhi pandangan hidup kita, makanan yang kita konsumsi, pakaian yang kita gunakan, rumah yang kita huni dan tempat rekreasi yang kita nikmati. Hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ekblaw dan Mulkerne Preston E. James mengemukakan bahwa geografi berkaitan dengan sistem keruangan, ruang yang menempati permukaan bumi. Geografi selalu berkaitan dengan hubungan timbal balik antara manusia dan habitatnya. Kedua pendapat tersebut selanjutnya di perkuat oleh pendapat dari Maurice Le Lannou (1959) yang mengemukakan bahwa Objek study geografi adalah kelompok manusia dan organisasinya di muka bumi.

2.2.3 Cabang Ilmu Geografi Yang Berkaitan Dengan Kehidupan Sosial
   Cabang-cabang ilmu geografi banyak macamnya yaitu demografi, Antropologi, kartografi, meteorologi, dan lain-lain. Beberapa cabang ilmu geografi yang berkaitan dengan kehidupan sosial, antara lain:
   Demografi, adalah ilmu yang mempelajari dan menguraikan tentang penduduk. Komposisi penduduk, jumlah penduduk dan sebagainya perlu diketahui untuk menentukan pola konsumsi penduduk terhadap barang tertentu.
   Selanjutnya antropologi, adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia khususnya mengenai ciri, warna kulit, bentuk fisik, masyarakat dan kebudayaannya. Adat istiadat penduduk perlu diketahui untuk mengetahui kebiasaan sehari-hari, barang yang diperlukan, bahan makanan yang dikonsumsi, dan sebagainya. Kedua cabang ilmu tersebut tentunya perlu didukung oleh cabang ilmu lain yang juga berkaitan dengan kehidupan sosial.

   Antara lain adalah geografi regional dan geografi politik. Geografi regional adalah cabang geografi yang mempelajari suatu kawasan tertentu secara khusus. Sedangkan geografi politik adalah cabang geografi yang khusus mengkaji kondisi- kondisi goegrafis di tinjau dari sudut politik atau kepentingan Negara.
   Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan pertama, permasalahan yang timbul akibat pluralisme disegala aspek/kehidupan yang ada di Indonesia dapat diselesaikan dengan pembangunan yang menerapkan strategi modernisasi. Kedua adalah bahwa pembangunan juga menyebabkan adanya suatu perubahan pola pikir masyarakat menjadi lebih modern, dengan tidak mengutamakan kepentingan suku atau kelompok tertentu melainkan kepentingan bersama. Ketiga ada hubungan ilmu geografi dengan perkembangan kehidupan masyarakat.


















2.3 Profil Tulang Bawang Barat
                                   
                 Kabupaten Tulang  Bawang Barat merupakan pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang. Kabupaten Tulang Bawang sendiri mempunyai luas wilayah ± 6.851,32 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2007 berjumlah 860.854 jiwa, terdiri atas 28 (dua puluh delapan) kecamatan. Kabupaten ini memiliki potensi besar yang dapat dikembangkan untuk mendukung peningkatan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
                 Dengan luas wilayah dan besarnya jumlah penduduk seperti tersebut di atas, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat belum sepenuhnya terjangkau. Kondisi demikian perlu diatasi dengan mempersempit rentang kendali pemerintahan melalui pembentukan daerah otonom baru sehingga pelayanan publik dapat ditingkatkan sehingga mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
                 Pembentukan Kabupaten Tulang Bawang Barat yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang terdiri atas 8 (delapan) kecamatan, yaitu Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kecamatan Lambu Kibang, Kecamatan Gunung Terang, Kecamatan Tumijajar, Kecamatan Tulang Bawang Udik, Kecamatan Gunung Agung, Kecamatan Way Kenanga, dan Kecamatan Pagar Dewa. Kabupaten Tulang Bawang Barat memiliki luas wilayah keseluruhan ± 1.201,00 km2 dengan jumlah penduduk ± 233.360 jiwa pada tahun 2006.

                 Kabupaten Tulang Bawang Barat diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Indonesia, Mardiyanto, pada 29 Oktober 2008 berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kabupaten Tulang Bawang Barat Di Provinsi Lampung tanggal 26 November 2008.
                 Karet adalah tanaman utama yang dibudidayakan di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Selain itu tanaman perkebunan seperti sawit dan tebu juga banyak ditanam oleh penduduk.

Batas wilayah:
Utara:















Arti lambang daerah Tulang Bawang Barat antara lain:

1.      Bentuk Perisai Bersegi Lima, menggambarkan bahwa masyarakat Tulang Bawang Barat sanggup mempertahankan cita-cita Bangsa Indonesia dan melanjutkan pembangunan serta memajukan daerah berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
2.       Tulang Bawang Barat dengan Huruf Merah dan Dasar Putih mempunyai makna bahwa keberadaan dan terbentuknya Kabupaten Tulang Bawang Barat adalah dalam nuansa persatuan dan kesatuan, semangat kebersamaaan serta kehormatan terhadap Sang Saka Merah Putih sebagai Lambang Kedaulatan Republik Indonesia.
3.      Mata Payan di atas payung beserta tangkainya adalah senjata tradisional masyarakat Tulang Bawang Barat yang senantiasa siap mempertahankan daerah dan masyarakatnya.
4.      Payung Berwarna Putih melambangkan masyarakat Tulang Bawang Barat yang memiliki hati yang suci dalam kehidupan bermasyarakat,  berbangsa dan bernegara. Dalam payung di atas rumbai  terdapat 3 (tiga) warna bergaris putih, kuning dan merah dengan pembatas 4 (empat) garis,  terdapat 20 (dua puluh) buah rumbai dan berjari-jari 9 (sembilan) buah, menggambarkan bahwa Kabupaten Tulang Bawang Barat di resmikan  pada tanggal 3 April 2009.
5.      Siger Lampung Berwarna Emas merupakan pakaian kebesaran masyarakat adat Lampung melambangkan bahwa masyarakat Tulang Bawang Barat sangat menghormati wanita yang didasari ajaran agama dan adat Lampung.
6.      Rantai Bersambung 4 (empat) berwarna putih melambangkan Kabupaten Tulang Bawang Barat merupakan bagian dari 4  (Empat) Marga yang tidak dapat dipisahkan oleh situasi apapun dan  masyarakat Tulang Bawang Barat mempunyai kewajiban untuk menjamin keutuhannya sepanjang masa.
7.      Talow adalah instrumen induk dari semua tetabuhan adat, yang dibunyikan pada saat masyarakat adat Tulang Bawang Barat Begawi, mengartikan masyarakat Tulang Bawang Barat berada dalam satu kesatuan walau banyak instrumen yang mengeluarkan bunyi-bunyian, tetapi akan terangkum dalam musyawarah dan mufakat untuk tujuan bersama.
8.      Rangkaian 45  (Empat Puluh Lima) Butir Padi, 17 (Tujuh Belas) Polong Kapas dan Tali Simpul 8 (Delapan) mempunyai makna kebersamaan yang utuh untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera berkemakmuran baik lahir maupun batin, serta makmur berkeadilan dalam wadah Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
9.      Pepadun berwarna emas adalah singgasana kerajaan dalam adat Lampung, menunjukan bahwa masyarakat Tulang Bawang Barat khususnya masyarakat Lampung Pepadun mempunyai cita-cita yang luhur untuk mencapai keberhasilan dalam strata sosial, politik dan ekonomi.
10.  Tulisan Aksara Lampung yang  berbunyi RAGEM  SAI MANGI WAWAI.
11.  Seuntai Pita bertuliskan “RAGEM SAI MANGI WAWAI“ dasar Putih dengan tulisan berwarna Merah. Ragem Sai Mangi Wawai bermakna “KEBERSAMAAN MENUJU KEBERHASILAN” juga merupakan  Motto Kabupaten Tulang Bawang Barat.
12.  Air dengan 11 (Sebelas) Garis menunjukan Kabupaten Tulang Bawang Barat mempunyai cikal bakal dari 11 (Sebelas) kampung. Pada masa lalu transportasi yang digunakan oleh masyarakat adalah  melalui sungai yaitu Way Rarem, Way Tulang Bawang, Way Kiri. Sungai Tulang Bawang mengalir sepanjang tahun dan memberikan sumber kehidupan bagi masyarakat Tulang Bawang Barat, yang nantinya akan berkembang menjadi agrobisnis baik untuk pertanian maupun perikanan.























BAB III
METODE PENULISAN

Dalam mencari atau mengumpulkan data terdapat beberapa cara atau metode yang digunakan misalnya studi kepustakaan, observasi, interview dan lainnya. Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah :
1. Dengan melakukan Studi Pustaka. Kami mencari bahan-bahan tentang pluralisme lewat Internet, juga melalui buku-buku ensiklopedia tentang kebudayaan dan keanekaragaman suku di Indonesia.
2. Observasi (pengamatan secara langsung) di daerah Tulang Bawang Barat selama 1 minggu. Hal tersebut kami lakukan untuk mendapatkan data yang akurat.
3.  Interview (wawancara secara langsung) kepada narasumber.                               


















BAB IV
PEMBAHASAN


4.1. Sejarah Singkat Perkebunan Karet di Tuba Barat
                 Kabupaten Tulang  Bawang Barat merupakan pemekaran dari Kabupaten Tulang Bawang. Terdiri dari 8 (delapan) kecamatan, yaitu Kecamatan Tulang Bawang Tengah, Kecamatan Lambu Kibang, Kecamatan Gunung Terang, Kecamatan Tumijajar, Kecamatan Tulang Bawang Udik, Kecamatan Gunung Agung, Kecamatan Way Kenanga, dan Kecamatan Pagar Dewa. Dan kecamatan yang paling luas adalah kecamatan Tulang Bawang Tengah. Salah satu desa di kecamatan Tulang Bawang Tengah yaitu desa Mulya Kencana yang merupakan salah satu desa di wilayah transmigrasi Way Abung II pada tahun 1974.
                 Karena wilayahnya yang terletak berdekatan/berbatasan dengan wilayah pribumi (Menggala), maka penempatan para transmigran terdiri dari para tentara ABRI dan Polisi yang bertujuan mengamankan daerah baru(dikhawatirkan akan terjadi konflik terkait masalah tanah adat). Untuk berikutnya, terdiri atas  penduduk sipil yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
                 Setiap keluarga memperoleh 2 hektar tanah, yang terdiri dari ¼ ha lahan perumahan, ¾ ha lahan perladangan, dan 1 ha sebagai lahan persawahan. Pada awalnya penduduk Desa Mulya Kencana terdiri dari sekitar 500 keluarga. Mata pencaharian penduduknya sampai pada tahun1980-an, sebagai petani tanaman pangan buruh di pabrik-pabrik/PT.
                      Pada tahun-tahun tersebut, karena penghasilannya yang rendah sehingga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka sebagian transmigran ada yang kembali ke daerah Jawa lagi. Namun hanya sebagian kecil masyarakat yang kembali ke daerah asalnya.

4.1.1 Peningkatan Taraf Hidup
                    Untuk mengubah taraf hidup masyarakat wilayah transmigran Way Abung II, pemerintah memberikan bantuan-bantuan seperti ternak sapi, dan mengubah lahan pertanian tanaman pangan menjadi lahan perkebunan, khususnya desa Panaragan Jaya, Tirta Kencana, dan Mulya Kencana. Pada tahun 1980 Pemerintah melalui PT PN, memberikan bantuan untuk pembuatan perkebunan karet di tiga desa tersebut.Rupanya perkebunan karet sangat cocok untuk wilayah transmigrasi Way Abung II.
                   Hal tersebut dapat mengubah pola hidup masyarakat wilayah-wilayah tersebut dengan bukti kemajuan taraf hidup masyarakat yang dulunya sangat miskin, dengan adanya perkebunan karet tersebut penghasilan petani menjadi lebih meningkat dan tidak sedikit petani yang sukses melalui kepemilikan kebun karet. Serta konflik akibat permasalahan tanah antara masyarakat pribumi dan pendatang berangsur-angsur mulai hilang.

4.1.2 Pembuatan Kebun
                    Pada tahun 1979-1980 dimulai proses pendoseran dan pembajakan lahan yang masih berupa semak belukar. Penanaman bibitkaret dimulai pada tahun 1980-1981 dan pada tahun 1986 mulailah penyadapan batang karet yang dikelola KUD Kencana Jaya.
                    Setapak demi setapak KUD Kencana Jaya mulai tumbuh berkembang maju sehingga pada tahun 1994, memperoleh penghargaan KUD teladan di Propinsi Lampung. Kemajuan ini berkat usaha karyawan KUD dalam mengelola hasil perkebunan karet.
                    Dengan adanya peningkatan taraf hidup, sekaligus meningkatkan pola pikir masyarakat , sehingga saat ini di wilayah Way Abung II khususnya di tiga desa yaitu Panaragan Jaya, Tirta Kencana, dan Mulya Kencana sudah tidak ada lahan kosong. Semua lahan telah ditanami tumbuhan perkebunan yang terdiri dari 98% perkebunan karet, dan 2% perkebunan kelapa sawit. Lahan tersebut dimiliki oleh seluruh masyarakat, baik pribumi maupun pendatang. Hasil survey para PPL untuk wilayah Way Abung II, memang sangat cocok untuk perkebunann karet dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit, atau tanaman pangan.

4.1.3 Pemasaran Produksi
                    Rendahnya harga karet yang diterima oleh petani selama ini sering dituduhkan karena buruknya kualitas produksi karet-rakyat. Sebaiknya ke depan, persoalan yang menimpa petani karet ini tidak dilihat hanya dari rendahnya mutu karet yang dihasilkan oleh petani karet rakyat.
                    Namun perlu juga dilihat dari sisi faktor penyebab lainnya, misalnya sisi hubungan sosial antara petani dengan pihak lain yang ada di tingkat lokal. Artinya, persoalan rendahnya harga (pendapatan) dan kehidupan petani tidak hanya disebabkan oleh persoalan teknis semata, tapi yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan situasi dan kondisi sosial masyarakat di tingkat bawah. Kondisi sosial yang dimaksud adalah adanya kenyataan bahwa penentuan harga karet di tingkat bawah justru sering ditentukan oleh keadaan dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila kehidupan masyarakatnya kondusif maka tingkat harga akan semakin tinggi. Kenyataan seperti ini, di pedesaan sulit sekali untuk dihindarkan.
                    Kehidupan yang terdiri dari berbagai suku membuat kondisi masyarakat bersifat dinamis(selalu berubah). Akibat kesalah pahaman antar suku dapat menimbulkan konflik –konflik kecil, yang tak jarang menjadi konflik yang besar.
                   


                    Namun, kini keadaan mulai berubah. Saat ini di Tulang Bawang Barat, kebanyakan petani karet adalah masyarakat pendatang (transmigran), namun masyarakat pribumi juga mulai melirik usaha ini. Kebanyakan masyarakat pribumi menjadi pembeli  produksi karet para petani. Ini berarti telah terjadi sinergi atau kerja sama antara warga pribumi dan pendatang, dan kerukunan antar suku kian erat terjalin. Permasalahan tanah adat yang dulu sering menimbulkan konflik, kini mulai tersingkirkan akibat adanya rasa saling membutuhkan antara kedua belah pihak.






















BAB V
PENUTUP


5.1 .Simpulan
                 Proses pembangunan wilayah di Indonesia sering menghadapi banyak kendala yang cukup besar. Selain luasnya wilayah dan banyak Pulau, permasalahan muncul disebabkan karena adanya keragaman suku, budaya, sumberdaya dan perkembangan teknologi.
                 Keadaan seperti ini lebih terlihat di daerah pedesaan. Di mana sebagian besar masyarakat Lampung  yang tinggal di pedesaan adalah sebagai petani karet rakyat sering sekali mengalami permasalahan-permasalahan. Umumnya permasalahan persengkataan tanah (adat). Namun masalah tersebut dapat teratasi dengan perkembangan pola pikir masyarakat, dan perkembangan zaman.
                 Daerah Lampung merupakan salah satu daerah di Indonesia yang banyak memiliki usaha perkebunan karet di tengah kehidupan masyarakatnya yang masih erat atau kuat memelihara kebiasaan-kebiasaan tradisional dalam kehidupannya sehari-hari. Masyarakatnya dikenal sebagai masyarakat yang terbuka atau mau menerima unsur kebudayaan dari luar, selama hal itu tidak bertentangan dengan adat istiadat mereka, kepercayaan dan lainnya. Dengan keberadaan perkebunan karet yang sudah cukup lama tersebut diyakini sedikit banyak telah menimbulkan dampak positif terhadap kehidupan budaya masyarakatnya. Dampak-dampak positif dari perkebunan karet di Lampung yaitu:
-  Meningkatkan pola pikir masyarakat menjadi lebih modern.
-  Meningkatkan perekonomian masyarakat.
-  Terjadinya kerja sama antar berbagai suku.
- Menghilangkan konflik-konflik yang berkaitan dengan pluralisme antar suku.
-  Terciptanya kehidupan yang aman, maju, dan sejahtera.
                 Artinya dalam mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh pluralisme di Indonesia, ilmu geografi dapat digunakan. Tentunya juga dengan memperhatikan dan menyesuaikan antara kondisi masyarakat dengan lingkungannya. Selain itu peran pemerintah dalam mengembangkan pola pikir masyarakat dalam bidang ekonomi akan berpengaruh pada kehidupan bermasyarakat setempat. Dengan kemajuan ekonomi pastinya masyarakat akan membutuhkan antara satu dengan yang lainnya, dan masalah perbedaan suku akan hilang seiring dengan kondisi untuk memenuhi kebutuhan. Dan ternyata ilmu geografi bisa mengatasi dampak negatif dari pluralisme di Indonesia, melalui cabang-cabang ilmunya antara lain demografi, antropologi, geografi politik, dan geografi regional. Dan juga melalui pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia.

5.2 Saran
Kami selaku pelajar yang cinta akan kedamaian dan ketentraman Indonesia. Kami ingin turut serta dalam menjaga kerukunan antar suku di Indonesia dalam hidup bermasyarakat. Saran kami antara lain:
- Adanya komunikasi dan kerjasama yang intensif antara pemerintah dengan para element masyarakat.
- Mengawasi dan mencegah seluruh tindakan masyarakat yang mengindikasikan hal negatif.
- Kesadaran tiap-tiap masyarakat dalam menjaga kerukunan hidup bermasyarakat.
- Bagi penelitian selanjutnya,kami berharap informasi yang didapatmelalui sumber apapun diolah dengan baik agar lebih akurat. Dan memberikan solusi terbaik, agar kerukunan kehidupan antar suku di Indonesia bisa terwujud.




DAFTAR PUSTAKA

kerusakan-ekologi-krisis-globa-semakin.html
http://djunijanto.wordpress.com/materi/pengertian-geografi
Budiyanto, ”Pendidikan Kewaganegaraan kelas X”, Jakarta, Erlangga, 2007.
Muin Idianto, “Sosiologi SMA/MA kelas X”, Jakarta, Erlangga,2007.
Sulistyanto Gatot, “Geografi 1, SMA/MA”, Jakarta, Pusat Perbukuan, 2009.

 

0 komentar:

By © 2013 Osis SMAN 1 Metro.